Otokritik Pemberian Anak

Jakarta -
Belum sembuh benar ingatan kita pada agresi dua abang beradik dan ayah kandung yang memperkosa anak perempuannya secara bergantian bertahun-tahun dalam rumahnya di Lampung, kini insiden nyaris serupa terulang. Peristiwa pembunuhan oleh ibu angkat yang sebelumnya terjadi perkosaan oleh dua abang angkat pada seorang bocah usia 5 tahun di Sukabumi. Mayatnya ditemukan di tepian sungai, penuh bekas penganiayaan.
Mengapa insiden sadistis dan kejahatan seksual kerap muncul berbarengan dan dilakukan pada seseorang yang dalam strata sosial yaitu kelompok paling lemah dan tidak berdaya serta secara inter-relasi paling membutuhkan dukungan orang di sekitarnya?
Anak merupakan seseorang yang berusia di bawah 18 tahun termasuk dalam kandungan, demikian suara undang-undang No 35/2014 menyebutkan. Mereka secara biologis dan sosiologis menempel pada sesuatu yang melindunginya. Bayi dalam kandungan dilindungi orangtuanya, begitupun dikala ia sudah lahir dan berkembang, membutuhkan orang remaja dalam proses optimalisasi diri dalam berkembang, yakni orangtua, keluarga, kekerabatan sosial di masyarakat, sekolah, dan lingkungan di sekitarnya.
Namun yang terjadi, kekerabatan anak dengan orang remaja kerap tercerabut oleh pelemahan kekerabatan kuasa. Pola pikir bahwa anak merupakan kuasa diri pribadi, bahkan urusan pribadi yang seolah membolehkan seseorang untuk melaksanakan kesewenang-wenangan, kemauan pribadinya, bahkan bertentangan pribadi dengan aspirasi anak itu sendiri merupakan hal biasa terjadi. Pada eskalasi tertentu, kita tidak jarang menjumpai problem kekerasan, penganiayaan, kejahatan seksual hingga kematian.
Tragisnya hal itu dilakukan secara berbarengan, berencana, bertahun-tahun, dan oleh orang-orang yang berada di sekitarnya, orang yang harusnya menjadi orang pertama yang melindungi dan mengasihinya menorehkan sikap biadab, tidak berperikemanusiaan pada anak kandungnya, anak angkatnya, atau anak yang mereka asuh.
Data hasil Survei Kekerasan Terhadap Anak (SKTA) 2013 yang dilakukan oleh KPPPA dan BAPPENAS menyebutkan, anak umur 18-24 tahun dan 13-17 tahun ditemukan 1 dari 2 anak pria dan 1 dari 6 anak wanita mengalami salah satu jenis kekerasan, baik kekerasan seksual, fisik, atau emosional sebelum mereka berumur 18 tahun (KPPPA, 2013).
Survei yang melibatkan 11.410 rumah tangga yang tersebar di 232 kecamatan di 32 provinsi di Indonesia itu menemukan, 3 dari 5 anak wanita dan 1 dari 2 anak pria mengalami kekerasan emosional. Temuan lainnya, 1 dari 5 anak wanita dan 1 dari 3 anak pria mengalami kekerasan fisik. Sedangkan 1 dari 11 anak wanita dan 1 dari 17 anak pria lainnya mengalami kekerasan seksual. Pelaku kekerasan didominasi oleh teman dan orang bersahabat korban.
Ada apa dengan jiwa-jiwa yang beringas itu? Publik kaget dan mencicipi kepiluan. Anak usia 5 tahun harus mendapatkan perlakuan sadistis yang tidak pernah ia bayangkan, dan mungkin tak pernah terpikirkan oleh kita. Nyatanya, praktik kekerasan pada anak 70% potensial dilakukan oleh keluarganya.
Dalam UU Perlindungan Anak, hak pengasuhan dan pemeliharaan anak sangat spesifik sebagai sebuah mandat yang dilindungi dalam bernegara. Hak anak bab tak terpisahkan dari hak asasi insan (HAM). Hak hidup dan memperoleh kehidupan sesuai dengan tumbuh kembang seorang anak menjadi prinsip dasar dalam penegakan HAM Anak. Dengan insiden yang terjadi di Sukabumi, rasanya kita patut merefleksikan ulang bahwa bahaya kekerasan di seputar anak betapa nyata, dan anak perlu dukungan yang optimal baik di dalam peningkatan kualitas pengasuhan, edukasi di sekolah/lembaga pendidikan, dan informasi sosialisasi di masyarakat.
Salah satu yang patut kita benahi yaitu efektivitas partisipasi masyarakat akan pentingnya menghapus kekerasan pada wanita dan anak. Memperluas jangkauan, merangkul semua kalangan dan bersinergi dengan banyak sekali kalangan untuk menemukenali dan melaksanakan gerakan menghapus kekerasan tersebut. Kekerasan dalam bentuk fisik, psikis, emosi, kekerasan seksual, kekerasan akhir eksploitasi, tindak perdagangan orang, eksploitasi ekonomi, kekerasan secara ekonomi merupakan bentuk-bentuk yang patut kita waspadai dalam kekerasan tersebut seraya menggalang kekuatan untuk memeranginya.
Hukum akan berbicara; semua menggantungkan harap pada proses pengadilan. Jangan hingga ada bunga-bunga lainnya yang menuai final hidup di tangan orang-orang yang seharusnya melindunginya. UU Perlindungan Anak sudah mempunyai aspek pemberatan eksekusi buat orangtua, dan untuk kakak-kakaknya yang masih usia anak akan dikenai UU Sistem Peradilan Pidana Anak yang akan mengintervensi hidupnya untuk dikenai hukuman pidana, dibina supaya bertobat, pulih, dan hidup secara wajar.
Ai Maryati Solihah Komisioner KPAI Bidang Trafficking dan Eksploitasi
Sumber detik.com